Bahaya Merokok Bagi Kesehatan
View the Original article
Majalah GAMMA Nomor: 22-2 - 25-07-2000
Peneliti ITB berhasil merancang raket untuk pemain bulutangkis secara ilmiah. Intinya, supaya pemain tak cepat lelah.
OLAHRAGA apa yang paling hebat di Indonesia? Jawabanya, pasti banyak yang menyebut bulutangkis. Itu tak salah. Paling tidak, ukurannya adalah banyaknya prestasi yang diukir cabang olahraga ini di arena internasional. Tapi, yang aneh, dari sisi ilmiah, olahraga populer di Tanah Air ini kurang digarap secara serius. Mantan pemain putri nasional, Ivana Lee, misalnya, terang-terangan mengakui kalau memang tidak ada kajian soal fisika matematis terhadap raket bulutangkis.
Inilah yang mengusik pikiran Dr. Ir. Bagus Budiwantoro. Peneliti pada Laboratorium Perancangan Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB) itu kemudian mempelajari desain raket yang pas, terutama untuk mengoptimalkan sweet spot area (SSA), daerah pada raket yang memberikan pantulan pukulan relatif sempurna dan vibrasi energi ke tangan sekecil mungkin. Ini supaya pemain tak cepat lelah. Kajian selama 1,5 tahun yang dibiayai Ditjen Pendidikan Tinggi itulah yang kemudian dibawa Bagus ke Industrial Mathematics Week -sebuah workshop yang diikuti para dosen, peneliti, dan kalangan industri untuk memecahkan problem industri lewat matematika- di Kampus ITB, pekan lalu. Menurut Bagus, saat ini hampir semua pemain bulutangkis nasional memakai raket impor. Alasannya, hingga kini tak ada pabrik raket lokal sebagus milik Yonex, Pro Kennex, Cartlon, atau merek dunia lainnya. Bahan raket impor memang bisa disebut canggih, seperti boron, komposit, titanium, dan campuran karbon. Hasilnya, raket menjadi ringan dan lentur. Bandingkan dengan raket produksi lokal yang masih menggunakan bahan aluminium dan besi baja. "Teknologi pembuatannya pun masih sangat sederhana," kata Bagus.
Anggapan bahwa raket impor selalu baik, menurut doktor bidang vibrasi dari Centrale Ecole Centrale de Lyon, Prancis, itu belum tentu seluruhnya benar. Bagus kemudian melakukan eksperimen. Hasilnya, raket yang baik sangat bergantung pada karakteristik dinamik raket bersangkutan. Misalnya, frekuensi pribadi, peredaman, dan mode shapes. Selain itu, Bagus juga mengkaji raket untuk pemain khusus. Pemain dengan tipe menyerang semacam Haryanto Arbi, misalnya, harus menggunakan raket penyerang pula. Lalu, apa yang dilakukan?
Caranya, Bagus menggeser sweet spot area (SSA). Rupanya, setiap raket memiliki SSA berbeda. Jika kok jatuh pada SSA, si pemain tak akan cepat lelah. "Karena energi dalam bentuk vibrasi yang sampai ke tangan setelah kok mengenai raket juga sangat kecil," jelas Bagus kepada Gamma. Sebaliknya, jika kok lebih banyak mengenai daerah di luar SSA, dalam waktu tak lama si pemain akan cepat capai. Daerah inilah yang disebut dead spot.
Teknik yang dilakukan Bagus adalah memindahkan SSA ke hitting area (daerah yang paling sering kena kok atau daerah pukulan favorit). Daerah ini berbeda-beda untuk setiap pemain. "Untuk mengetahuinya, bisa dilihat di daerah mana senar raket biasanya putus. Tapi, tak sesederhana itu karena perlu dilakukan uji laboratorium," kata Bagus.
Sebelum dilakukan pemindahan SSA, harus dikenal dulu titik SSA pada setiap pemain. Caranya dengan menjepit grip (pegangan) raket lewat jepitan khusus yang sama jika dijepit tangan pemain. Lalu, jatuhkan kok ke raket pada titik-titik yang berbeda. Getaran yang ditimbulkan pun dicatat. Energi inilah yang kemudian merambat ke tangan pemain. Yang paling rendah getarannya merupakan titik SSA.
Dari sini diketahui bahwa SSA sangat bergantung pada karakteristik dinamik raket. Seperti, massa dan geometri raket, bentuk penampang, bahan, serta tegangan senar. Metode pemindahan SSA yang dilakukan Bagus adalah dengan cara menambahkan sejumlah massa berupa karet ke kepala raket. Atau, dengan mengikatkan sejumlah nilon ke salah satu sisi atas kepala raket tadi. Sayang, Bagus amat pelit menjelaskan lebih lanjut soal perhitungan pemindahan ini. "Lagi dipatenkan," ujarnya sambil tersenyum.
Dalam penelitian ini, Bagus dibantu Edy Soewono dari Pusat Penelitian dan Penerapan Matematika (P4M) ITB. Kajian matematis, seperti berapa lama getaran kok sampai ke tangan pemain, kini sedang dihitung doktor matematika dari Ohio University itu. Penelitian lanjutan tersebut, kata Edy, sangat tidak mudah. Parameter dalam kajian ini sangat banyak dan rumit, termasuk area grip yang dipegang pemain sampai tingkat nervous yang dimiliki pemain. Kalau penelitian ini berhasil, harapan untuk mendongkrak prestasi para pebulutangkis kita bukan sekadar angan-angan. Paling tidak, hasil penelitian ini bisa memberikan kontribusi berarti. Semoga.
-Paulus Winarto
Mie tanpa kandungan Formalin hanya dapat bertahan 12 jam, sedangkan mie dengan Formalin bisa bertahan sampai tiga hari tanpa perubahan tekstur.
Menurut beberapa produsen, penggunaan boraks pada pembuatan mi akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal. Sementara itu, penggunaan formalin akan menghasilkan mi yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Apa itu Formalin??
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram.
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan metanol hingga 15% sebagai pengawet.
Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda antara lain: Formol, Morbicid, Methanal, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, Methylene aldehyde, Oxomethane, Formoform, Formalith, Karsan, Methylene glycol, Paraforin, Polyoxymethylene glycols, Superlysoform, Tetraoxymethylene, Trioxane.
Penggunaan Formalin
Kompas 21 Juni 2001"SMES...," teriak penonton. Sontak atlet itu melompat sambil mengayunkan raket dari papan untuk memukul bola. Pukulannya keras sehingga bola itu menghunjam di sektor kiri lawan. Tetapi, lawannya cukup sigap. Dengan congkelan keras, berhasil mengembalikan bola itu tinggi-tinggi ke belakang.
Itulah permainan bulu tangkis ready papan yang kini sangat populer di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, khususnya di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan yang berada di sebelah Utara Makassar. Ketiga kabupaten tersebut yakni Polewali Mamasa (247 kilometer), Majene (302 kilometer), dan Mamuju (443 kilometer).
Olahraga ini diadaptasi langsung dari bulu tangkis. Maka bentuk permainan dan cara perhitungan point ready papan berikut bentuk lapangan maupun netnya, sama persis dengan bulu tangkis. Bedanya hanya pada bentuk raket dan bola, ukuran lapangan serta jarak net ke lapangan.
Kalau normalnya lapangan bulu tangkis untuk ganda berukuran panjang 13,40 meter dan lebar 6,10 meter, serta untuk tunggal berukuran panjang 13,40 meter dan lebar 5,18 meter, maka lapangan ready papan diperkecil menjadi lebar 4 meter dan panjang 8 meter. Kalau pada lapangan bulu tangkis tinggi atau jarak net dihitung dari lantai hingga ke ujung tiang 1,52 meter, maka pada lapangan ready papan dikurangi hingga menjadi sekitar 130 cm. Kalau melihat ukuran berat bola bulu tangkis yang normal antara 4,73-5,50 gram, praktis berat bola readypapan sudah sangat jauh dari yang seharusnya.
Yang unik sekaligus yang menjadikan namanya ready papan, adalah bentuk raketnya. Selain ukurannya kecil yakni panjang 40 cm dan garis tengah antara 12 cm-15 cm, raket ini juga terbuat dari papan. Karena pertimbangan ini pula, tak heran bolanya juga berbeda dengan bola yang biasa dipakai pada bulu tangkis kendati pada dasarnya sama. Bedanya terletak pada penambahan bulu ayam dan pelapisan karet pada bagian pantat bola. Bahkan tak jarang pada bagian bawah ini ditusuk jarum pentul kecil sebanyak delapan buah. Ini dilakukan untuk mencegah bola cepat rusak mengingat raketnya adalah papan.
Seperti pada olahraga bulu tangkis, dalam setiap pertandingan, dipertandingkan juga kelas tunggal putra dan putri, beregu putra dan putri, serta ganda campuran. Sebagai catatan, di beberapa event tingkat kabupaten, tak jarang penonton bahkan menjadikan pertandingan ini ajang taruhan.
***
OLAHRAGA ini berawal dari ketidakmampuan masyarakat membeli raket yang harganya selangit berikut bolanya yang kendati murah tetapi butuh beberapa buah sekali main. Itulah awal mula mengapa olahraga ini ada dan menjadi marak.
"Awalnya memang dari ketidakmampuan membeli raket. Belum lagi bola yang bisa habis berapa buah kalau latihan. Padahal keinginan dan minat main bulu tangkis di masyarakat sangat kuat. Apalagi kalau di tingkat nasional atau internasional sedang berlangsung pertandingan yang disiarkan di televisi," kisah Mardin (40), pegawai Dinas Kesehatan Majene yang tinggal di Kecamatan Tinambung, Polmas.
Tiga kabupaten yang masuk dalam wilayah Mandar (Polewali Mamasa, Majene, dan Mamuju) memang bukanlah daerah yang kaya-kaya amat kalau melihat PAD-nya. Kasarnya kalau mau membandingkan, di daerah ini, urusan isi perut atau keperluan pokok lainnya jauh lebih penting dari sekadar membeli raket dan bola.
Tak heran di kalangan kanak-kanak, ketika keinginan untuk bermain bulu tangkis makin kuat, pilihan akhirnya jatuh pada potongan-potongan kayu atau tripleks. Bahkan di dusun-dusun, pelepah kelapa yang umumnya agak besar di bagian pangkalnya, dimodifikasi jadi raket. Bolanya, menggunakan bola bekas latihan atau bertanding yang dimodifikasi dengan ditambah bulu ayam dan karet.
Bahkan acapkali, bolanya dibuat dari gulungan daun pisang kering yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bola. Daun pisang kering juga yang kerap dianyam atau diikat-ikat hingga menyerupai net dan dibentangkan di antara batang-batang pohon kelapa atau pisang. Kerap kali bolanya juga dibuat sendiri dari bulu ayam yang ditancapkan pada pelepah atau batang pisang.
Lama-kelamaan, entah siapa yang memulai dan tepatnya dari desa mana, akhirnya timbul ide membuat raket dari papan yang bentuknya betul-betul menyerupai raket asli. Ukurannya diperkecil kira-kita lebih besar dari bad tenis meja tetapi lebih kecil dari raket bulu tangkis. Pemilihan ukuran ini juga mengingat bahannya yang dari kayu yang pasti akan sangat berat bila seukuran raket asli. Dengan ini olahraga ini tidak berkesan main-main lagi tetapi jadi sungguh-sungguh. Singkat cerita, jadilah permainan bulu tangkis yang mengasikkan, nature serta tak terlalu menguras biaya. Tak hanya kanak-kanak, permainan ini juga dimainkan orang dewasa.
Yang jelas olahraga ini tumbuh dari masyarakat. Bagaikan bola salju yang terus menggelinding, olahraga ini terus berkembang. Masyarakat benar-benar gandrung. Tak terhitung sudah berapa banyak event perlombaan yang dilaksanakan mulai dari tingkat desa hingga antarkabupaten. Bahkan di beberapa instansi pemerintah dan perusahaan swasta, olahraga ini juga sudah punya jadwal wajib, di samping senam, voli atau jenis olahraga lain yang lazim selama ini. Menyusul maraknya olahraga ini, bermunculan pula PB-PB (Persatuan Bulu tangkis) ready papan mulai dari tingkat dusun hingga tingkat kabupaten, termasuk di instansi-instansi pemerintah maupun perusahaan swasta.
***
PADA mulanya memang ada rasa malu bahkan gengsi di kalangan masyarakat kelas atas untuk ikut memainkan olahraga jenis ini mengingat asal mula adanya olahraga ini. Tetapi, keasyikan dan kegandrungan masyarakat mengalahkan semua rasa itu.
"Asyiknya olahraga ini karena memukulnya lebih keras dari permainan bulu tangkis sebagaimana biasanya. Jadinya betul-betul menguras tenaga dan membakar lemak. Lagipula enak mendengar suara plok-plok-plok dari bola yang dipukul raket papan," ujar Ny Kardi, anggota Dharma Wanita PLN Polmas.
Sebenarnya bila mau mencermati lebih jauh, di Indonesia permainan bulu tangkis menggunakan raket papan bukan lagi hal yang betul-betul baru. Di hampir seluruh wilayah Indonesia sejak dulu sudah sering terlihat anak-anak kecil yang bermain bulu tangkis menggunakan potongan kayu, tripleks atau alat seadanya, bahkan penutup panci. Bolanya bisa buatan sendiri atau menggunakan bulu bekas berlatih atau bertanding.
Hanya, entah apa sebab dan bagaimana awal mulanya, hingga di tiga kabupaten ini, bulu tangkis ready papan betul-betul jadi marak dan membuat masyarakat jadi tergila-gila. Buktinya hampir setiap bulan ada saja yang menggelar pertandingan dan selalu ramai. Tidak jarang masyarakat dari kabupaten Polmas, misalnya, mengikuti pertandingan di Majene kendati pertandingan yang digelar bukan antarkabupaten. Begitu pun sebaliknya. Praktis ini juga terjadi pada para penonton. Ini dilakukan jika para pemain atau penonton sudah tak sabar menunggu dan belum ada yang menggelar pertandingan di daerahnya.
Bahkan belakangan, menyusul maraknya olahraga ini bermunculan pula usaha-usaha kecil yang mengkhususkan pada pembuatan raket papan. Harganya bervariasi mulai Rp 5.000-Rp 7.000 per pasang, tergantung jenis kayu yang digunakan. Sementara itu modifikasi bola tidak berubah, artinya walaupun, misalnya, menggunakan bola baru, tetap ditambah bulu ayam dan karet agar tidak cepat rusak.
Begitulah.., hingga kini, di tengah gencarnya berbagai temuan baru yang kental teknologi yang tidak sedikit juga menyentuh bidang olahraga, masyarakat Mandar di tiga kabupaten, tetap dengan keasyikannya bermain ready papan yang sangat nature. Kalau mulanya masih ada sedikit rasa malu atau bahkan gengsi dengan olahraga yang asalnya dari "ketidakmampuan" ini, maka saat ini yang ada adalah rasa bangga dan semangat untuk terus memajukan olahraga ini.
"Kami bahkan berniat terus memasyarakatkan ready papan. Barangkali saja kelak kami dapat jadi tuan rumah untuk event bertaraf nasional dan bukan lagi antardusun atau antarkabupaten. Barangkali saja olahraga ini bisa meluas ke daerah lain," harap Mardin yang bersama teman-temannya kerap mengadakan berbagai event pertandingan mulai tingkat dusun hingga antarkabupaten. (Reny Sri Ayu Taslim)
Mungkin Anda pernah mendengar bahwa kaum pria dianjurkan untuk melakukan khitan atau sunat. Sebetulnya apakah khitan itu memang perlu dilakukan? Kira- kira apa saja ya keuntungan melakukan khitan? Yuk kita simak lebih jauh tentang khitan.
Pro-kontra mengenai perlu-tidaknya khitan pada laki-laki sudah lama berlangsung. Tapi tampaknya hasil penelitian terbaru ini bisa dijadikan pegangan bahwa khitan memang perlu.
Laki-laki yang dikhitan terbukti jarang sekali tertular infeksi yang menular melalui hubungan seksual dibanding mereka yang belum disunat, itulah yang termuat dalam jurnal Pediatrics.
Dalam jurnal disebutkan bahwa khitan dapat mengurangi risiko tertular dan menyebarkan infeksi sampai sekitar 50%. Makanya jurnal juga menyarankan manfaat besar mengenai sunat bagi bayi yang baru lahir.
Studi saat ini hanya satu dari sekian studi untuk mengupas lebih jauh tentang topik kontroversial ini. Meskipun berbagai studi mendapati bahwa sunat bisa mengurangi tingkat HIV (virus penyebab AIDS), sipilis, dan borok pada alat kelamin, hasil tersebut bercampur dengan penyakit lain yang menular melalui hubungan seks (STD).
Academy of Pediatrics, Amerika menyebut bukti tersebut “rumit dan bertentangan”, karena itu mereka menyimpulkan bahwa, untuk saat ini, bukti tersebut tak memadai untuk mendukung khitan rutin pada bayi yang baru lahir.
Seperti dikutip Reuters, para peneliti menganalisis data yang dikumpulkan Christchurch Health and Development Study, yang mencakup kelompok kelahiran anak dari Selandia Baru.
Dalam studi ini responden laki-laki dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan status khitan sebelum usia 15 tahun dan kelompok yang mengalami infeksi menular melalui hubungan seks antara usia 18 dan 25 tahun yang ditentukan melalui sebuah kuisioner.
Sebanyak 356 anak laki yang tak dikhitan memiliki risiko 2,66 kali serangan infeksi yang menular melalui hubungan seks dibandingkan dengan 154 anak laki yang disunat, demikian kesimpulan pemimpin peneliti Dr. David M. Fergusson dan rekan dari Christchurch School of Medicine and Health Sciences.
Sebagian besar risiko yang berkurang tersebut tak berubah setelah diperhitungkan juga faktor pemicu yang potensial, seperti jumlah pasangan seks dan hubungan seks tanpa pelindung.
Para ilmuwan itu memperkirakan bahwa kalau saja khitan rutin pada bayi yang baru dilahirkan telah dilembagakan, angka infeksi yang menular melalui hubungan seks dalam kelompok saat ini tersebut mungkin telah berkurang setidaknya 48%.
Analisis tersebut memperlihatkan manfaat khitan dalam mengurangi risiko infeksi yang menyerang melalui hubungan seks mungkin sangat banyak. “Masalah kesehatan masyarakat yang diangkat dalam temuan ini jelas melibatkan pertimbangan manfaat jangka panjang bagi khitan rutin pada bayi yang baru dilahirkan dalam mengurangi risiko infeksi di dalam masyarakat, berbanding perkiraan biaya prosedur tersebut,” ujar para peneliti.
astaga.com
Atlet Kita harus Sinergikan Pengalaman dengan Iptek
Bali Post, 17 Desember 2006
Pada 1-15 Desember lalu telah berlangsung Asian Games XV di Doha, Qatar. Pada ajang olah raga itu, Indonesia juga ikut berpartisipasi karena masih punya sejumlah atlet yang baik. Namun, yang akan dibahas di sini adalah atlet yang baik barangkali kurang diimbangi oleh pembinaan yang sepadan. Guna membicarakan itu, tamu kita kali ini adalah Yayuk Basuki. Bagi dunia, ia salah seorang bintang. Sedangkan bagi Indonesia, ia petenis terbesar yang pernah dimiliki dengan pernah mencapai peringkat 20 besar di dunia dan berprestasi besar di Wimbledon.
Di event Asian Games, Yayuk Basuki sudah mendapatkan empat medali emas yang diraih dalam rentang waktu yang sangat lebar. Pertama kali mendapatkan medali emas pada 1986 yaitu di ganda putri bersama Susanna Anggarkusuma dan terakhir kali emas tunggal putri pada 1998. Ini satu rekor tersendiri. Kini, pemerintah -- dalam hal ini Menteri Pemuda dan Olah Raga -- telah menunjuk Yayuk menjadi salah seorang anggota tim untuk memantau olah raga. Berikut wawancara dengan Yayuk Basuki.
--------------
APA tugas yang diberikan pemerintah kepada Anda sekarang?
Saya sekarang masuk dalam tim monitoring yang berada di Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga. Tim ini dibentuk oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) karena melihat kegagalan kontingen Indonesia di ajang SEA Games di Filipina pada 2005. Setelah mengevaluasi kinerja tim Indonesia, Menpora menilai perlu membentuk suatu badan yang akhirnya dinamakan tim monitoring. Tugas kita adalah memonitor dan mengawasi seluruh pelaksanaan program maupun pembinaan khususnya pemusatan latihan di Tanah Air. Kita juga sudah memprediksi seberapa besar peluang kita di Asian Games 2006 ataupun di SEA Games 2007. Sebenarnya banyak tugas kita termasuk mengefisiensikan anggaran dan memonitor penggunaan anggaran supaya tepat guna dan pembinaannya berlanjut.
Tugas tim monitoring ini begitu banyak. Khusus di cabang olah raga tenis, sering ada gejala secara individu, yaitu banyak atlet yang berprestasi tapi kalau sudah terjun ke gelanggang multi-event atau yang besar tidak berprestasi?
Kalau saya perhatikan dan ini juga saya lihat setelah saya mendunia atau masuk profesional, atlet-atlet kita memiliki perbedaan dengan atlet negara lain. Perbedaan yang mencolok yaitu faktor mental. Faktor mental ini benar-benar harus diperbaiki oleh seluruh atlet di Indonesia. Dampak faktor mental ini sangat luas. Contoh kecilnya seperti saat bertanding biasa di dalam negeri mencatat hasil bagus. Misalnya, seorang pelari mencatat waktu yang bagus. Tapi setelah diadakan uji tanding di luar negeri, mungkin catatan waktunya akan berubah.
Maksudnya, prestasi atlet kita tidak stabil?
Kadang-kadang mereka juga akhirnya tidak konsisten. Misalnya, seorang karateka bernama Umar Syarif pernah juara dunia junior di Denmark. Dia salah satu karateka terbaik di dunia saat ini. Walaupun kini sedang mengalami cedera, tapi saya dengar Umar sudah siap kembali lagi. Saya ingat sekali saat terjun di Asian Games 1998, tangan Umar Syarif berkeringat dingin. Jadi dari sisi pribadinya sendiri ada keraguan, mentalnya ternyata belum terasah.
Artinya, sewaktu menjadi juara dunia mentalnya kuat, tapi di tempat lain seperti Asian Games bisa lemah?
Ya. Ini karena Asian Games adalah multi-event di mana kita membawa nama negara. Kalau kejuaraan dunia mungkin masih membawa nama individu. Itu perbedaannya. Kedua, di sisi lain kurangnya pertandingan. Barangkali untuk satu-dua kali pertandingan oke, tapi itu belum mencukupi. Atlet-atlet kita seharusnya banyak mengikuti uji tanding. Jadi setiap bulan mereka harus ada uji tanding supaya prestasi mereka bisa konsisten. Kalau kita lihat, saat ini masih naik-turun gelombang prestasinya.
Kalau Anda, saat bertanding di Wimbledon sebagai individu dan bertanding di Asian Games atau SEA Games yang membawa nama negara, mana paling berat tekanannya?
Terjun di arena Asian Games itu lebih stres karena tanggung jawab kita kepada negara. Saya tidak bertanggung jawab terhadap pribadi, tetapi pada negara. Tapi di situ seninya buat saya, walaupun saya sampai dikatakan aneh. Saya benar-benar mencintai tantangan.
Beban karena stres membela negara, tapi ada dukungan dari negara juga. Ini berarti saling mengimbangi. Kalau di Wimbledon, kadang-kadang saat latihan tidak ada yang tahu, tidak ada dukungan juga?
Iya, benar. Seperti saat kita berangkat, maka berangkat sendiri. Kalau multi-event itu, seluruh mata masyarakat olah raga tertuju ke kita dan kita juga menjadi tumpuan untuk mengharumkan nama negara. Tapi di situ timbul suatu semangat buat saya karena satu motivasi saya adalah mengharumkan nama bangsa. Jadi berbuat yang terbaik. Bagi saya, terjun di arena Asian Games betul lebih stres karena dibutuhkan konsentrasi ekstra.
Jadi, di situ ada faktor masing-masing individu, ada yang senang tantangan dan ada yang menjadi goyah. Pasti selalu ada variasi antar-individu terhadap hal itu. Apa yang bisa dilakukan oleh organisasi olah raga untuk membantu atlet yang beragam itu?
Kita mendidik dari awal. Jadi betul-betul kita menciptakan suatu sistem organisasi secara lebih sistematis di mana sekarang ini sudah banyak penyandangnya, salah satunya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Kita harus mengkombinasikan itu semua dengan perkembangan Iptek sekarang yang luar biasa. Kita tidak bisa seperti dulu tergantung berdasarkan pengalaman saja. Untuk sekarang, itu tidak akan mampu bertahan lama. Pengalaman itu harus kita sinergikan dengan Iptek. Itu saya rasa akan lebih baik. Hanya saja cara kerjanya memang harus sistematis. Kadang-kadang organisasi kita maunya tetap instan. Dari langkah pertama maunya langsung ke langkah kelima tanpa ke langkah kedua, ketiga, dan keempat dulu. Saya lihat beberapa organisasi masih seperti itu sistem kerjanya. Bagi saya, perlu kita revitalisasi supaya pada masa depan pembinaan menjadi lebih langgeng, lebih panjang, dan atlet pun akan berprestasi lebih lama.
Di beberapa organisasi ada psikolognya. Apakah memang jawabannya ada di situ atau dalam aura organisasi yang lebih luas?
Psikolog adalah salah satu penyandang juga. Sebetulnya ada beberapa tenaga ahli yang kita perlukan, salah satunya Iptek tadi. Tapi di sisi lain kita juga sudah pasti membutuhkan seorang psikolog. Walaupun tidak semua cabang olah raga percaya akan fungsi psikolog, saya pribadi sangat menyetujui dan psikolog ini adalah yang kita butuhkan. Saya lihat di nasional belum banyak organisasi yang memanfaatkan psikolog.
Apakah atlet pada umumnya punya sistem "support" sendiri secara mental seperti orangtuanya, temannya atau lainnya?
Saya rasa tidak. Seharusnya orang yang paling dekat dengan atlet adalah pelatih. Pelatih ini akhirnya yang akan memberikan masukan. Pelatih adalah panutan atlet. Pelatih membuat laporan ke organisasi atau manajer. Pelatih ini yang paling tahu kondisi dan kebutuhan atlet. Maaf, pelatih kita belum banyak yang tahu teknologi keolahragaan. Jadi semua memang rata-rata masih berdasarkan pengalaman. Contohnya, mereka yang dari mantan atlet jika tidak mengikuti Iptek olah raga maka belum tentu akan menjadi pelatih yang baik.
Ada yang mengatakan kalau olah raga beregu kita lemah tapi olah raga perorangan kita kuat seperti terlihat dalam tenis, badminton, tenis meja. Apakah itu betul? Apa bedanya beregu dan individu dalam konteks kelemahan mental atlet?
Sebetulnya kalau itu dianggap perbedaan tidak juga. Belakangan ini memang cabang-cabang olah raga tadi secara individual yang kelihatan lebih menonjol seperti badminton dan juga catur. Tapi kita juga mesti berterus terang bahwa cabang-cabang strategis kita saat ini baru mengalami kemerosotan yang sangat di bawah sekali. Itu mungkin benar-benar tanpa terprediksi sebelumnya termasuk cabang strategis seperti renang, atletik, dan senam.
Kita biasanya berharap atletik bisa menyumbangkan 8-17 medali emas di SEA Games. Tapi dalam SEA Games lalu atletik hanya bisa meyumbangkan satu medali emas. Sangat jauh kemerosotannya. Renang juga sama. Dari sekitar 50 medali emas yang diperebutkan, renang hanya menyumbang 1-2 medali emas. Juga merosot, karena biasanya renang menyumbangkan puluhan medali emas sejak zaman Lukman Niode sampai Elfira Rosa Nasution. Bagaimana ini?
Kita memang harus mengatasi hal ini, mencari tahu mengapa cabang olah raga itu sangat merosot. Saya katakan lagi, perlu ada revitalisasi dari sisi pembinaan karena cabang-cabang olah raga ini sekarang rata-rata tidak berbasis pada Iptek. Karena itu kita coba memasukkan agar basis utama setiap cabang olah raga dari Iptek dulu. Contoh kecil, di bidang olah raga saya yaitu tenis. Di tenis kita juga mesti paham mengenai bio mechanic.
Bisa dicontohkan diri Anda misalnya?
Misalnya, saya yang bertubuh kecil tapi bisa melakukan serv dan forehand keras. Dari mana saya bisa melakukan itu, bisa diteliti. Barangkali dari rotasi tubuh dan itu bisa dilakukan penelitian dari body rotation. Anak-anak sekarang berpikir, agar pukulan keras maka pukul dengan keras sehingga mengakibatkan tangan bisa cedera. Kalau dulu, bagaimana cara meminimalisasikan cedera ini, tapi sekarang kok malah lebih banyak cedera. Itu dianggap karena turnamennya lebih banyak. Padahal sebetulnya kerawanan cedera ini bisa kita sedikit redam. Itu memang bisa dari tubuh si anak, bisa juga dari over training, atau seorang pelatih yang tidak begitu memahami.
Dibanding dulu, sekarang banyak turnamen setiap minggu dan orang bisa melihat secara detail dan "close up". Orang awam saja bisa mendapatkan informasi itu. Apakah atlet sekarang tidak lebih cenderung ke Iptek dengan mengamati perkembangan tenis dunia?
Atlet kita kadang-kadang tahunya "pokoknya saya masuk lapangan dan latihan".
Mereka kurang memperhatikan yang di luar lapangan?
Iya, saya perhatikan ada beberapa atlet di luar waktu latihan malah tidur. Padahal waktu kosong itu mungkin bisa kita isi dengan aktivitas lain seperti kursus satu mata pelajaran atau bahasa atau belajar komputer. Sebetulnya sisi otak atlet ini juga perlu kita asah supaya mereka tetap aktif. Sekarang, atlet setelah capek latihan maka istirahat tidur saja dan tidak ada aktivitas lain. Padahal mereka juga dituntut untuk mengetahui perkembangan Iptek. Maaf, saya bukan menghakimi, tapi saya rasa ini yang perlu kita selamatkan dan perlu kita programkan untuk ke depan. Ini supaya atlet-atlet kita saat menghadapi lawan bukan hanya kondisi tubuhnya segar dan tidak hanya bermodal power saja, tapi juga bermodalkan skill dan isi kepalanya.
Kondisi Indonesia berubah-ubah seperti mengalami krisis moneter, susah, bahkan sekarang susah minyak segala. Sebetulnya, apakah ada pengaruh ekonomi terhadap prestasi atlet?
Saat ini sangat berpengaruh karena atlet sekarang beda dengan dulu. Kalau dulu, atlet kita benar-benar mau maju demi Indonesia, sedangkan atlet sekarang kalau tidak ada biaya maka tidak mau maju. Jadi terus terang saja, perbedaannya di situ.
Dalam kondisinya yang sudah berbeda, bagaimana menggabungkan motif pribadi dengan kebesaran negaranya, apakah prestasi atlet kita akan naik?
Terus terang saja dan ini bukan karena saya pesimis, tapi memang peluang atlet kita -- contohnya di Asian Games XV ini -- sangat berat. Salah satunya karena Cina menurunkan seluruh atlet juara dunia. (*)